PBI.COM Jakarta,Wakil Presiden Ma'ruf Amin berbeda sikap dalam merespons kasus dugaan penodaan agama yang dituduhkan terhadap politikus Sumkawati Soekarno Putri dengan perkara yang pernah menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2016 silam.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menyorotinya sebagai bentuk inkonsistensi Ma'ruf Amin selaku pemuka agama yang sampai saat ini masih menjadi pemimpin Majelis Ulama Indonesia.
Ma'ruf dulu menganggap Ahok telah menghina agama karena menyitir surat Al-Maidah ayat 51.
Kini, saat umat Islam tersinggung dengan Sukmawati yang membandingkan Nabi Muhammad dan Sukarno, Ma'ruf meminta persoalan diselesaikan lewat jalur mediasi.
Ubed menganggap seharusnya Ma'ruf sebagai seorang Wapres tidak melontarkan pernyataan yang seolah-olah mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.
"Narasi Ma'ruf menunjukkan inkonsistensi cara melihat masalah. Kalau masalah hukum, biar hukum bekerja, jangan buat pernyataan ada efek intervensi," kata sosok yang akrab disapa Ubed itu saat berbincang dengan PBI.COM, Jumat (22/11).
Ubed mengatakan langkah Ma'ruf memberikan respons terhadap kasus Sukmawati memperlihatkan bahwa pemerintah saat ini tidak menghendaki kegaduhan terjadi di ranah sosial dan politik.
Menurutnya, kegaduhan di dua ranah tersebut berpotensi mengganggu rancangan kinerja dan target yang ingin dicapai oleh pemerintah saat ini.
"Sebetulnya, Presiden dan Wapres ingin tidak terjadi gaduh dalam ranah politik dan sosial, (itu) kepentingan ke sana dan pemerintahan ini terhalang karena gaduh ini kan yang bikin barisan orang di sekitarnya," tutur Ubed.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul mempertanyakan pihak yang mengusulkan mediasi dalam kasus dugaan penodaan agama yang dituduhkan terhadap Sukmawati, sebagaimana diharapkan Ma'ruf.
Menurutnya, hal tersebut tidak jelas karena pihak yang dirugikan Sukmawati dalam pernyataannya adalah seluruh umat Islam, bukan organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu.
"Kalau mediasi, siapa yang mau lakukan tidak jelas, ini kan yang dirugikan yang beragama Islam, publik, sekarang ini semestinya mediasinya enggak bisa karena yang dirugikan umum bukan kelompok tertentu," katanya.
Permintaan Ma'ruf agar dilakukan mediasi dalam kasus Sukmawati, kata Chudry, secara implisit telah menyatakan bahwa putri Sukarno tersebut bersalah.
Chudry berkata, dalam hal ini Ma'ruf bermaksud agar Sukmawati meminta maaf dan tidak sampai diseret ke pengadilan seperti Ahok yang dulu menolak meminta maaf kepada umat Islam.
Chudry menganggap delik Pasal 156a KUHP penting untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menghindari permasalahan antarumat beragama di Indonesia yang lebih rumit di hari mendatang.
"Pertimbangan ini tetap ada, saya kira karena kita beraneka ragam, plural. Suatu saat bisa saja nanti hina agama lain (bukan Islam), kalau tidak ada pasal ini masyarakat kita tambah banyak masalah," tuturnya.
Namun begitu, Chudry menambahkan, pemerintah dan DPR perlu menambahkan poin penjelasan terkait pasal penodaan agama dalam rancangan KUHP. Menurutnya, penjelasan tersebut penting agar penodaan agama tidak menjadi pasal karet.
"Mumpung belum disahkan, dalam penjelasan RKUHP ini bukan dalam wacana intelektual misalnya yang diserang jelas terkait ajaran agama supaya jangan multitafsir," ujar Chudry.
Jumat, 22 November 2019
Home
Unlabelled
Tanggapan Ma'ruf Amin Mengenai Kasus Ahok dan Sukmawati
Tanggapan Ma'ruf Amin Mengenai Kasus Ahok dan Sukmawati
About Ma_3N
PBI.COM ini menyajikan berita-berita terbaru dan terhangat tanpa menyajikan berita-berita sara bagi para pembaca.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar